“ Don’t care what your skin, country, Angklung can bring your happiness. "
Siang itu cuaca mendung, namun geliat beberapa orang yang berlalu lalang di kawasan Saung Angklung Udjo nampak tak mempedulikan hal tersebut. beberapa orang bule tampak begitu antusias untuk segera menikmati pertunjukan Angklung yang dimulai tiap pukul 15.30.
Sambil menunggu waktu pertunjukkan dimulai, rombongan kami diajak untuk melihat bagimana cara membuat angklung. Kami masuk ke bagian samping dari Saung ini dan melewati gerombolan orang berpakaian warna – warni.
Melewati bagian samping |
Akhirnya sampailah kami di sebuah tempat yang hampir semua bagiannya terbuat dari bambu. Seorang lelaki yang sudah cukup berumur berada di dalam rumah bambu tersebut. Tangan kanannya memegang pisau dan tangan kirinya memegang sepotong bambu.
Tempat pembuatan angklung |
Kang Hari sedang menjelaskan kepada kami |
Saya tidak terlalu mendengarkan penjelasan dari Kang Hari tentang pembuatan Angklung. Sekilas saja saya mendengar beliau menjelaskan tentang bambu, tahap pembuatan, dan lain – lain , mungkin karena posisi saya yang berdiri paling samping. Saya hanya melihat lelaki tersebut sedang “mengupas” bambu, kemudian beberapa kali ia nampak berhenti dan menjawab pertanyaan teman saya dengan santai, lalu kembali “mengupas”, lalu yang terakhir mempraktekkan cara memainkan Angklung.
Sedang "mengupas" bambu |
Konsentrasi saya sedikit terganggu karena tepat di samping saya terjadi sedikit keramaian. Gerombolan tadi nampak sedang membuat barisan namun gagal. Beberapa orang tak mempedulikan barisan sampai maju ke depan untuk mendengarkan instruksi dari seseorang.
Sedang mendengarkan instruksi |
Dalam hati saya bertanya sendiri , Mereka ini siapa ya? Apa pertunjukkan angklungnya melibatkan mereka semua? Kening saya ikut - ikutan berkerut dengan pertanyaan yang saya lontarkan sendiri.
Kami pun akhirnya dibawa Kang Hari berpindah tempat menuju bangunan utama dari area ini, Saung Angklung Udjo.
Saung Angklung Udjo |
Waktu menunjukkan pukul 15.30. Kursi nampak penuh dengan pengunjung yang begitu “berwarna”. Dari mulai pelajar, mahasiswa, bapak – bapak , ibu – ibu, bule – bule, semua sudah duduk rapi melingkari panggung yang sedang memainkan lagu khas sunda. Diiringi gamelan khas Sunda, semua mata tertuju pada beberapa orang yang sedang memainkan gamelan tersebut.
Pengunjung yang sudah duduk rapi |
Petunjukkan dibuka dengan wayang sunda yang berada tepat di depan panggung utama. Lampu sorot yang berwana kuning membuat pengunjung segera memfokuskan pandangan ke arah panggung mini tempat wayang sunda tersebut dimainkan. Terdapat sekitar 20 wayang yang dipajang. Tapi tidak semua wayang tersebut dimainkan hanya ada beberapa saja. Lama kelamaan panggung mini yang terdiri dari 3 bagian tersisa satu bagian saja.
Pertunjukkan wayang sunda eh ada cepotnya :D |
Si Cepoot :D |
Saya baru mengetahui, ternyata ada seorang dalang yang bertugas memainkan wayang serta menjadi pengisi suara yang duduk tepat di bawah panggung mini. Saya kurang mengerti apa yang sedang dibicarakan hanya melihat gesture dari wayang saya dapat tiba – tiba tertawa. Namun tiba – tiba pula saya bengong dan mengernyitkan dahi karena kendala bahasa yang tidak saya mengerti. Semua pengunjung nampak serius memerhatikan panggung mini tersebut hingga akhirnya pertunjukan wayang selesai dan tempo gamelan tiba – tiba menjadi cepat.
Empat lelaki pembawa bendera panjang |
Empat lelaki remaja kemudian masuk ke Saung dengan membawa bendera panjang. Mereka meliuk – liukkan bendera tersebut. Kemudian datang lagi empat orang lelaki tetapi kali ini usia mereka nampak masih bocah. Empat bocah tersebut menari sambil membawa jaran kepang, entah apa namanya kalau di bahasa sunda. Keempat bocah pembawa jaran kepang dan empat lelaki remaja pembawa bendera lalu menari bersama di tengah saung.
Menari bersama |
Tiba – tiba dari arah sebelah kiri panggung utama masuklah segerombol orang dengan pakaian warna – warni, masing – masing membawa angklung di tangannya. Mereka mengitari bagian tengah Saung kemudian berbaris rapi memanjang di depan panggung utama. Lalu datanglah empat orang lelaki dengan memanggul bambu dengan sebuah kursi di tengahnya.
Mereka menari bersama sambil memainkan angklung. Seorang anak kecil yang duduk di kursi tampak melambaikan tangannya ke arah pengunjung.
Wah enak sekali ya anak itu, yang lain menari dan memainkan angklung dia sendiri hanya duduk dan melambaikan tangan. Belakangan saya baru mengetahui bahwa anak tersebut berperan sebagai seorang anak kecil yang akan sunat kemudian diadakan tari – tarian yang telah menjadi tradisi turun temurun di tanah sunda.(Sumber : https://zipoer7.wordpress.com/2011/06/21/tradisi-khitanan-masyarakat-sunda/).
Budaya sunda ketika ada anak sunat |
Gerombolan penari tesebut kemudian masuk kembali ke pintu masuk di bagian samping panggung utama. Kali ini kami dibuat tertegun dengan lima orang penari cantik yang masuk ke Saung. Kostum yang apik dengan gerakan gemulai penari membuat pengunjung tak hentinya mengabadikan momen teresbut. Apalagi saat lima penari tersebut secara bergantian menari di depan pengunjung, suara kamera secara bergantian terdengar bersahutan “klik , klik , klik..”
Lima penari cantik |
Setelah mata pengunjung dibuat terpana oleh tarian lima penari cantik kali ini dari arah samping panggung utama gerombolan penari masuk kembali ke tengah Saung. Ternyata mereka menari dan menyanyi bersama dengan lima penari cantik tadi. Lagu – lagu seperti Melati Kenanga, The Song of Doremi pun dimainkan. Alunan band pengiring dan suara merdu penari cilik membuat kami turut serta bernyanyi.
Do, a deer, a female deer
Re, a drop of golden sun
Mi, A name I call Myself
Fa, A long Long Way To Run
Sol, a needle pulling thread
La, a note to follow Sew
Ti, a drink with jam and bread
That will bring us back to Do
......
Teks lagu di brosur yang dinyanyikan bersama |
Hampir semua penari menari bersama |
Angklung Bernomor 7 |
Ketika penunjuk tongkat mengarah pada angka 7, dengan cepat saya mengangkat angklung tinggi – tinggi dan menggerakkannya ke kanan dan ke kiri. Tapi sayang, porsi nada “Si” pada lagu ini cukup sedikit. Berbeda dengan nada – nada lain, teman – teman saya di sisi kanan dan kiri begitu sering mengangkat tinggi-tinggi angklung di tangan mereka dan memainkannya. Mungkin lain kali kalau kesini saya meminta angklung dengan nada selain “Si” agar saya lebih sering “bekerja” saat acara bermain angklung bersama ini.
Sang dirigen yang memimpin kami ketika bermain angklung bersama |
Di akhir acara bermain angklung bersama ini, sang dirigen yang saya lupa namanya berkata, “ Don’t care what your skin, country, Angklung can bring your happiness.”
Saat itu saya mengiyakan perkataan sang dirigen dengan menganggukkan kepala beberapa kali. karena memang mulai dari pukul 15.30 kami sudah disuguhi dengan berbagai macam pertunjukkan yang membuat kami tak henti bertepuk tangan dan tersenyum bahagia.
Persembahan terakhir dari Saung Angklung Udjo |
Dan yang paling menyenangkan adalah acara menari bersama yang dilakukan di akhir pertunjukkan. Awalnya para penari berbaris seperti bermain kereta – keretaan dengan tangan yang diletakkan di pundak penari lain yang berada di depannya. Tiba – tiba beberapa penari masuk ke tempat duduk penonton dan mengajak kami menari bersama. Saya pun tak luput dari ajakan salah satu dari penari tersebut. Yang mengajak saya adalah seorang dari lima penari cantik tadi. Dia menjulurkan tangannya kepada saya disertai senyum manis yang saya balas dengan uluran tangan.
Penari cantik paling depan yang mengajak untuk menari bersama |
Dia menggandeng tangan saya dan kami pun berputar – putar di dalam Saung dengan seluruh pengunjung yang juga melakukan hal serupa. Saya melihat di depan ada seorang bule juga menari sambil tertawa lepas.
Kami diajak pula untuk bermain ular naga, dua orang berpegangan tangan berhadap- hadapan dan kami pun satu persatu masuk ke dalam terowongan ular naga tersebut. Saat nyanyian selesai dinyanyikan dua orang tersebut menangkap orang yang tepat berada di dalam terowongan saat nyanyian berhenti. Lalu kami kembali diajak menari berputar mengelilingi Saung sambil sesekali berhenti untuk melakukan tarian berpasangan.
Dan di akhir pertunjukkan ini saya benar – benar mengerti apa yang dimaksud oleh dirigen tadi tak peduli asal kita dari mana, warna kulit kita apa, semua berbaur menjadi satu saling melempar senyum dan tawa bahagia.
Untuk Mang Udjo yang sudah lebih dulu mendahului, semoga tawa bahagia yang hadir tiap harinya di Saung ini dapat kau lihat di sana. Kami yang hadir di sini merasa sangat bahagia, tak ada batasan usia, warna kulit, dan negara. Tak mempedulikan itu semua suara angklung yang dibunyikan menjadi salah satu penanda kebahagiaan kami pula. Semoga engkau mendengar tawa bahagia kami, di alam sana . .
Mang Udjo (Sumber : http://bit.ly/1zGXGw0 ) |
Keren, Im. Kamu ke Bandung kenak budget berapa itu :3 ? Pengen deh jalan2 ke Bandung juga, Im ><
ReplyDeleteberapa yaa itu dulu waktu ada acara disana hap hap : v
DeleteDari beberapa tahun yang lalu niat kesini tapi ngak perna kesampaian hehehe
ReplyDeletewahhh mesti disempatkan ke Saung Udjo kaak, kereen banget disana gak bakal nyesel :D
DeleteSaya yang ngekost di Bandung malah belum pernah masuk ke dalemnya hahaha.
ReplyDeletecuma sempet lewat doang.
Visit juga EnjoyBackpacker.blogspot.com bahas tentang serba serbi wisata yang ada di bandung :))
Yahhh disempetin deh itu ka mampir ke sana :D
ReplyDeleteOke siaap :D
mampir sebentar baca baca :D
ReplyDeletehahaha silahkan dibaca-baca ya ndrick :)
Delete