Kisah Dibalik Sepotong Daging di Kupang


Nusantara, Unity in Diversity


Malam itu ketika saya dan teman-teman sedang makan malam di salah satu restoran di Kupang, Joey yang masih berumur sekitar 7 tahun, berbisik kepada saya.

“Kak Ima kok makan daging? Kan daging tidak boleh dimakan sama orang Islam,” Joey berkata pada saya dengan mimik wajah heran.

“Oh ini kan daging sapi, jadi aman Joey, yang tidak boleh daging babi.”saya membalasnya dengan senyuman.

Joey mengangguk dan kami pun melajutkan makan.

Saya dan Joey di Pantai Oetune


Sebagai agama minoritas, Islam di Kupang nyatanya sudah berbaur dengan baik dan menerapkan toleransi dengan agama lain, yaitu Kristen dan Katolik yang menjadi agama terbesar di kota karang tersebut.

Saat siang hari sebelum acara makan malam dimulai saya diberitahu oleh seorang panitia acara yang saya hadiri bahwa,” Tidak perlu cemas makan daging di sini karena tempat penyembelihan sapi di kota ini petugasnya muslim, jangan takut makan daging ya.” Sambil tertawa renyah panitia tersebut menjelasskan kepada saya yang menjadi salah satu peserta muslim di kegiatan famtrip explor the diversity, Kupang.

Menurut salah satu sumber yang saya baca, bahwa ada masjid yang bernama Al-Muttaqin yang terletak satu area dengan gereja HKBP. Sejak lama kaum muslim dan kristen di Kupang sudah menerapkan toleransi satu sama lain.

Misalnya saat Idul Adha, maka petugas gereja dibagikan pula daging kurban dari Masjid Al-Muttaqin. Kemudian saat Ramadhan maka takmir masjid Al-Muttaiqin menyerahkan jadwal kegiatan mereka kepada petugas gereja. Jadwal ini berguna untuk memberitahu kegiatan apa saja yang akan dilakukan pada Bulan Ramadhan agar kemudian disesuaikan dengan jadwal di gereja. Misalnya masjid baru mengadakan acara setelah kebaktian selesai dilakukan. Dan kegiatan di gereja telah selesai dilakukan sebelum Dhuhur karena mereka paham bahwa waktu Sholat Dhuhur tidak bisa diundur.

Masjid Al-Muttaqin


Sejarah masuknya agama Islam di Kupang sendiri erat hubungannya dengan penyebaran agama Islam di Indonesia. Dari Ternate, Islam meluas meliputi pulau-pulau di seluruh Maluku, dan juga daerah pantai timur Sulawesi.

Pada abad ke-16, dari Sulawesi Selatan muncul Kerajaan Gowa. Pengislaman dari Jawa disini tidak berhasil, akan tetapi berkat usaha seorang ulama asal Minangkabau pada awal abad ke-17, raja Gowa itu akhirnya memeluk agama Islam juga. Nah, atas kegiatan orang-orang Bugis, maka Islam masuk pula di Kalimantan Timur dan Sulawesi Tenggara, juga beberapa pulau di Nusa Tenggara.

Akibat meluasnya kekuasaan Kerajaan Tallo dan Goa di Nusantara Tenggara Timur, maka masuklah agama Islam di Nusa Tenggara Timur. Selain pengaruh dari Sulawesi Selatan, masuknya agama Islam di NTT disebabkan pula oleh masuknya orang-orang yang beragama Islam dari Ternate – Maluku ke daerah ini.

Setelah masuknya agama Islam ke Pulau Solor sekitar abad ke XVI, maka dengan perantaraan orang-orang yang beragama Islam dari Solor, agama Islam masuk ke Batu Besi Kupang sekitar tahun 1613.

Melalui komunikasi laut, agama Islam berhasil dikembangkan di daerah-daerah pesisir Kabupaten Kupang yang strategis letaknya, sehingga terbentuknya masyarakat Islam di Kupang pada mulanya terjadi di daerah-daerah pesisir.

Dalam catatan sejarawan, masyarakat Islam yang berada di pesisir Pulau Timor telah muncul di Kupang, Toblolong (Kecamatan Kupang Barat), Sulamu (Kecamatan Kupang Timur), dan Naikliu (Kecamatan Amfoang Utara), Babau (Kecamatan Kupang Timur). Di tempat inilah, para nelayan, pelayar, dan pedagang menyinggahi dan menetap di daerah-daerah ini. Perkampungan Islam juga terbentuk di Pulau Sabu (Kecamatan Sabu Barat) di daerah pesisir.

Di luar Kupang, masyarakat Islam juga terbentuk di Oesalain (Pulau Semau) tahun 1920, Pulau Rote (Papela, Kecamatan Rote Timur) sekitar tahun 1850. Selanjutnya juga terbentuk di Oelaba (Kecamatan Rote Barat Laut), Batu Tua, Oenggae dan Ndao.
Pada tahun 1925, masyarakat Islam di Baa secara gotong royong membangun sebuah surau. Pada tahun 1930 di bangun Masjid An-Nur Baa berukuran 7x9 meter. Pada tahun 1.900, masyarakat Islam di Papela membangun surau pertama atas inisiatif dari Habib Alwi Gudban.

Pulau Semau

Pantai Tablolong

Setelah masyarakat Islam terbentuk di Kupang tahun 1653, selanjutnya masuklah pedagang-pedagang turunan Arab yang beragama Islam dari Semarang ke Kupang (tahun 1812), pedagang Islam dari Sumba (1860), pedagang Islam dari Aceh (1885), nelayan-nelayan beragama Islam dari Pulau Butung (1895) serta pedagang-pedagang Bugis dan Makasar (1957), disusul pula dengan masuknya para pencari nafkah dari daerah-daerah lain di Indonesia, hingga terbentuk masyarakat Islam di Kota Kupang.

Meski kaum muslim menjadi minoritas namun sampai saat ini mereka hidup berdampingan dengan non muslim dan mengetahui bahwa tempat pemotongan hewan ternak di kupang dilakukan oleh kaum muslim untuk mengahargai kehahalan yang menjadi mutlak bagi kami, menjadi salah satu wawasan baru bagi saya yang seumur hidup menjadi kaum mayoritas di lingkungan tempat saya tinggal.



Sumber informasi dan foto Masjid Al-Muttaqin: 




Comments

  1. Konon ada yg bilang, semakin ke timur, toleransi itu semakin kental. Ya seharusnya beginilah Indonesia. Selain alamnya tentu pesona kepulauan nusa tenggara adalah orang-orangnya. Semoga suatu saat nanti, saya bisa. menyapa mereka

    ReplyDelete
  2. Waini nih! Emang bagian paling menyenangkan dari traveling itu bisa tau soal seluk beluk & adat istiadat masyarakatnya ya Im, selalu ada nilai kultural yg bisa dipelajari bahkan di negeri sendiri. Btw, ngeliat foto pantainya adem banget :')

    ReplyDelete

Post a Comment

back to top