Pilihan keputusan untuk memilih langsung pergi ke gardu
pandang sepertinya sangat tepat bagi saya. Kala itu karena sedang dikejar waktu
yang sudah mepet dengan jadwal kunjungan, saya memilih untuk pergi langsung ke
gardu pandang, meski wisata utamanya ialah Goa yang begitu menarik dan memiliki
cerita filosofis di dalamnya, Goa Seplawan.
...
Pada hari Selasa Kliwon, 28 Agustus 1979, satu tim beserta masyarakat sekitar Keterban memasuki Goa Seplawan dengan peralatan tangga bambu dan penerangan petromak.
Setelah perjalanan sekitar 1,5 jam dan menempuh jarak 750 meter, ada salah satu anggota tim yang melaporkan kepada tim bahwa ada tiga orang pemuda bernama Slamet, Lebih, dan Sukir menemukan sebuah barang berbentuk kendogo dari perunggu semacam termos yang di dalamnya ada sesuatu yang bersinar.
Singkat cerita, barang tersebut diambil Bapak Semirejo sebagai Kepala Dusun Keterban dan dilaporkan kepada Kepada Desa Donorejo untuk dibawa keluar goa. Lalu oleh Kepala Desa Donorejo, semua tim dan anggota masyarakat diperintah untuk keluar membawa barang tersebut menuju Pendopo Kelurahan Donorejo. Setelah sampai di pendopo kelurahan, wadah mirip kendogo tersebut dibuka. Semua terkejut ketika isinya ialah sepasang arca emas berbentuk raja dan permaisuri. Saat itu juga, Kepala Desa Donorejo langsung memerintahkan kepada Ngudiyo, Kepala urusan pemerintahan untuk melaporkankepada camat setempat. Hingga kini arca tersebut disimpan di Museum Pusat (Museum Gajah) do Jl.Merdeka Barat, Jakarta.
Konon menurut sumber ,di dalam Goa Seplawan terdapat lorong yang dapat menembus sampai ke Samudera Hindia, bahkan ada yang mengatakan bahwa lorong tersebut merupakan jalur khusus bagi Nyi Roro Kidul jika ingin bertemu dengan para petapa. Keberadaan lorong tersebut hingga kini masih ditutup karena terdapat gas berbahaya yang terkandung di dalamnya. Benar tidaknya hal tersebut, sepertinya harus dikaji dan diteliti lebih mendalam lagi.
...
Sebelum tiba di gardu pandang sendiri, anak tangga berjumlah
puluhan harus saya lewati. Ffiuhh..bagi seorang yang sudah lama tidak
berolahraga seperti saya, ini salah satu perjuangan berat. Namun dengan
iming-iming dapat berdiri di perbatasan dua kota menjadi penyemangat bagi diri
sendiri.
Jika sebelumnya saya hanya mengetahui batas kota dengan
tulisan-tulisan bercetak tebal berbunyi “Selamat Datang di Kota...” atau
“Selamat Tinggal di Kota B..” beberapa saat lagi saya akan tiba di perbatasan
dengan pemandangan berbeda.
Seperti apa ya gardu tersebut bentuknya. Di bus tadi panitia
penyelenggara bercerita bahwa kaki kita dapat berada di Jawa Tengah namun
tangan kita dapat berada di provinsi yang berbeda yaitu provinsi Daerah
Istiwewa Yogyakarta. Saya begitu penasaran dan terus menerka-nerka bagaimana
bentuk gardu.
Mungkin karena itulah sehingga kaki saya kian mempercepat
langkah meski nafas sudah ngos-ngosan tak karuan.
Tulisan “Goa Seplawan” berukuran besar menyambut ketika anak
tangga terakhir berakhir saya lewati. Hah! Akhirnya sampai juga..
Ternyata untuk menuju gardu pandang saya harus berjalan kaki
lagi dan beruntung jalanannya tidak menanjak.
Sesampai di gardu pandang, nafas tak lagi terengah dan
tergantikan dengan lanskap menawan di depan dua pasang bola mata.
Dari kejauhan nampak Waduk Sermo dan teman saya membisikkan sesuatu, ia berkata apabila
cuaca sedang cerah kita dapat melihat pantai selatan dan kalau beruntung lagi
dapat melihat Gunung Merapi, Merbabu, Slamet dan Sumbing.
Kalau beruntung...
Nampaknya hari itu keberuntungan saya dapat melihat sebuah ceruk
berukuran besar berisi air, sepertinya Waduk Sermo..
Ah tidak apa-apa setidaknya lanskap sekitar sudah mampu
membuat saya gembira. Kegembiraan kian bertambah kala sang surya makin meredup
sinarnya.
Segera tak saya sia-siakan momen tersebut. Kamera saku dan
smartphone saya siapkan demi menangkap momen di ujung hari di batas dua
provinsi.
Mengabadikan momen sunset |
Pemburu sunse |
eh ada pesawat lewat.. |
Waduk Sermo (kata teman saya) |
Gardu Pandang dari kejauhan |
Apabila Anda pergi secara berkelompok dengan menaiki bus maka Anda harus berganti kendaraan dengan menaiki angkot untuk menuju Goa Seplawan. Angkotnya sendiri bertipe mobil carry.
Saya sedikit membayangkan, bagaimana matahari terbit dari gardu pandang itu. Secara menghada ke timur, tanpa penghalang berarti... Namun, kok jam bukanya itu tua untuk menikmati matahari terbit.
ReplyDeletekeren!! dari gardu pandang bisa lihat laut selatan juga !! ajib
ReplyDeleteCerita gua seplawan dibumbui mistis, jadi ada rasa was-was kalau mau explore lebih dalem..
ReplyDeletebaguss banget view nya dek.....pasti bakal kerasa syahdu nya menikmati sunset di gardu..
ReplyDeletecantik banget langitnya, terbayar lunas perjuangannya menapaki ratusan anak tangga
ReplyDeletesayang banget ya kita g masuk seplawang. Padahal aku search di gugel lumayan apik lah.
ReplyDeleteKadang emang mbingungi sih ya terkait batas daerah. Haha. dulu aku di Sumbawa jg gt, antara bima dan dompu sulit batas daerahnya, hanya sebatas patok kecil. Kaya di Papua jg, batas Tambrauw dan manokwari hanya plang sekolah. Sama seperti purworejo. ahaha
pesawat numpang lewat yaaa :P
ReplyDeleteSunsetnya keceh, Kak Ima. Syahdu merajuk hahaha
ReplyDeleteLuar Biasa Nih Awannya, serasa dilautan awan .... wkwkwk
ReplyDeletewah keren buat mengabadikan momen ni kak
ReplyDelete