Sebutan “Tiongkok kecil” dan “Kota Santri” telah disematkan pada wilayah ini. Lasem bagi saya tak semata sebuah wilayah namun sebuah wajah, wajah perjuangan dan persatuan Indonesia...
Klakson nyaring dari truk berukuran
super besar menemani sore saya di hari terkahir kunjungan ke Lasem.
“Minimal seminggu lah kalian di sini,
baru kalian nanti paham dan mengerti bagaimana keadaan sebenarnya
toleransi di Lasem ..”ungkap Gus Zaim.
Gus Zaim dan rumah berarsitektur Tionghoanya |
Hmm.. seminggu, cukup bagi saya untuk
mungkin dicoret dari KK karena janji saya tiba di rumah adalah
keesokan pagi.
Bagi saya, berkunjung ke Lasem yang
sudah saya idamkan sebulan sebelum kepulangan saya dari ibukota
merupakan hal yang begitu menarik perhatian saya. Apalagi ketika
berkesempatan bertemu dengan kawan baru yang begitu seru serta guide
yang mengantar kami ber-vakansinesia di Lasem ini. Terlebih ketika
saya baru mengetahui bahwa ada benang merah peristiwa yang terjadi di
Glodok dengan perang yang terjadi di Lasem.
Matahari di Lasem sudah meredup, tanda
malam akan berganti. Masjid Jami Lasem yang berada di tepi jalan saya
lewati dengan perlahan.
“Dahulu, saat perang melawan Belanda,
ada tiga kekuatan utama di Lasem ini, warga Tionghoa, Jawa, dan
Pesantren. Mereka bersatu melawan penjajah dibawah tiga pemimpin yang
mewakili tiga kekuatan tersebut. Karena perang yang berlangsung hari
Jumat, maka kaum muslim melaksanakan Sholat Jumat terlebih dahulu.
Nah di alun-alun yang ada di depan masjid Jami ini, warga Tionghoa
menunggu kaum Muslim yang sedang sholat. Merinding saya
ceritanya..”ungkap pak Yanto, guide kami selama di Lasem.
Ternyata ada kaitan antara perang
terjadi di bumi Lasem dengan peristiwa Geger Pecinan yang menewaskan
10.0000 orang di Batavia.
Setelah kejadian tersebut banyak warga
Tionghoa memilih untuk berpindah ke wilayah yang lebih aman hingga ke
wilayah Tengah yaitu Semarang dan Lasem. Lasem yang saat itu dipimpin
oleh Adipati Tumenggung Widyaningrat atau Oei Ing Kiat menerima
dengan tangan terbuka warga Tionghoa yang berpindah.
Oei Ing Kiat (Oey Ing Kiat) ialah
seorang Tionghoa beragama Islam yang sangat kaya, keturunan Bi Nang
Oen yang merupakan salah seorang juru mudi armada Laksamana Ceng Ho
yang mendarat di Bonang-Lasem.
Perkampungan baru pun didirikan dengan
warga Tionghoa penghuninya.
Merasa senasib dan sepenanggungan
dengan kesemena-menaan Kompeni, warga Lasem pun mulai bangkit dengan
mengangkat senjata. Kebencian warga Lasem dulunya dipicu dengan
serangan VOC pada tahun 1679 yang dibantu penguasa Matram untuk
memonpoli perdagangan di pesisir pantai utara Pulau Jawa.
Warga mengangkat tiga pemimpin pasukan
pemberontak perang yang juga dikenal sebagai Laskar Dampo Awang
Lasem. Mereka adalah Raden Panji Margono, Oei Ing Kiat, dan Tan Kee
Wie.
Pemberontakan pun dilakukan dengan
strategi dan siasat yang dibuat. Pasukan Laskar Dampo Awang Lasem
dibagi menjadi dua bagian, pasukan yang menyerang laut dan darat.
Siasat yang mereka buat ialah menguasai
daerah pelabuhan terlebih dahulu yang dipimpin oleh Tank Kee Wie lalu
bergerak ke pusat kota. Siasat tersebut berhasil dilakukan dan
Rembang pun jatuh ke tangan para pemberontak Lasem.
Salah satu pintu di Kauman |
Saat menuju Juwana, rupanya Kompeni
telah diperkuat senapan dan meriam dari Semarang. Armada Tan Kee Wie
ditembaki dan gugurlah salah satu pemimpin Laskar Dampo Awang Lasem
tersebut.
Selanjutnya petempuran di darat tak
terhindarkan yang menyebabkan pasukan pemberontak tercerai-berai
kembali ke Lasem.
Belanda menang namun pasukan
pemberontak tetap menaruh dendam untuk membalas kekalahan.
Selang tiga tahun kemudian, semangat
untuk memberontak hadir kembali.
Kini, warga pesantren yang dipimpin
oleh Kyai Ali Badawi turut serta.
Dengan khotbah Jumat yang berisi
tentang perlawanan terhadap penjajah dan mengajak untuk bergabung
menjadi satu dengan warga Tionghoa, mereka berjuang sekuat tenaga
melawan penjajah yang kala itu menguasai bumi pertiwi.
Tiga pemimpin perang kemudian terpilih
lagi. Kini Kyai Ali Badawi menggantikan Tan Kee Wie yang telah gugur.
Di bawah pimpinan Oei Ing Kiat pasukan
VOC dihadang di jalur laut yang dipersenjatai senapan dan meriam
hasil rampasan perang. Selama ini senjata-senjata tersebut
disembunyikan di dalam terowongan yang digali di tepi Sungai
Paturenan.
Di sebelah timur Sungai Paturenan,
pasukan yang dipimpin Kyai Ali Badawi menghadang pasukan VOC dan
Citrasoma, tetapi banyak yang tewas akibat serangan meriam dari kapal
VOC.
Raden Panji Margono memimpin
pertempuran di daerah Narukan dan Karangpace (barat Lasem) hingga ke
utara di tepi laut. Di Narukan, perut sebelah kiri Raden Panji
Margono terkena sabetan pedang. Setelah dibawa ke tempat yang lebih
aman, Raden Panji Margono meninggal karena kehabisan banyak darah.
Mendengar berita kematian Raden Panji
Margono, Oei Ing Kiat gelap mata. Ia maju ke depan peperangan dan
akhirnya tertembak di dada oleh serdadu Ambon.
Tiga pemimpin pemberontakan di Lasem
telah gugur di medan perang dengan semangat juang tinggi di
masing-masing lini.
Akhirnya pada tahun 1780 sebuah
klenteng bernama Gie Yong Bio dibangun untuk mengenang jasa Raden
Panji Margono, Oei Ing Kiat, dan Tan Kee Wie.
Kelenteng Gie Yong Bio |
Laksana sebuah wajah, Lasem tak hanya
sebuah wilayah dengan wisata budaya yang dirias dengan
bangunan-bangunan kuno yang berdiri, namun bagi saya, di balik
keelokan yang tersembunyi di Lasem, ada darah juang mengalir di
urat-urat nadinya, ada persaudaraan umat yang terjalin di lubuk
hatinya, dan ada toleransi yang terjaga hingga anak cucu warga Lasem lahir
di dunia..
Pintu khas wilayah Lasem |
Di depan Rumah Merah |
Pondok Bodho “Al-Frustasi” |
Sumber Informasi:
1. http://suarapesantren.net/2016/04/25/pondok-pesantren-kauman-di-kota-cina-kecil-lasem/
2. https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Kuning
3. https://fahmialinh.wordpress.com/2015/04/18/narasi-perang-kuning-lasem/
4. Vakansinesia
1. http://suarapesantren.net/2016/04/25/pondok-pesantren-kauman-di-kota-cina-kecil-lasem/
2. https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Kuning
3. https://fahmialinh.wordpress.com/2015/04/18/narasi-perang-kuning-lasem/
4. Vakansinesia
Lasem dan Tuban, sama sama masih kental suasana tionghoanya. Pengen deh jadinya main ke sana.
ReplyDeleteBagus ni infonya. Pengen banget ke Lasem jadinya. Jaman dulu aja bisa bersatu ya knp sekarang makin maju malah tercerai berai
ReplyDeletecieee akhirnya kesampaian ya mengunjungi lasem. aku juga mau deh kalo seminggu disana :D
ReplyDeletebener ya lasem itu gak cuma wilayah seharusnya masuk dalam catatan di buku sejarah. bahkan sejak jaman majapahit nama lasem juga disebut. berarti kota ini memang sebetulnya kaya akan sejarah, tapi sekarang hanya kota kecil yang hampir dilupakan
Wah.. sekarang udah terkenal ya Lasem... hehehe..
ReplyDeleteTulisan yang keren!
ReplyDelete