Dua bulan lalu, meskipun suasana bising
tak karuan karena berada di tepi jalan, saya berusaha mendekat ke
arah guide yang mengantar kami ke lokasi walking tour agar informasi yang
diberikan terdengar jelas dan tidak samar-samar.
“Jadi, mengapa Glodok dipenuhi dengan
etnis Tionghoa? Ada yang tahu?”
Kami semua saling berpandangan, seperti
murid yang sedang ditanya oleh gurunya,lalu serempak menggeleng.
Mungkin bagi sang guide, tidak ada yang
mengetahui sejarah Glodok akan membuat suasana tur makin seru karena
ada proses transfer ilmu.
Tak lama kemudian karena kami
benar-benar tidak bisa menjawab, maka ia pun menjawab pertanyaannya
sendiri.
“Dahulu saat zaman penjajah, ada
kejadian pembantaian besar-besaran di wilayah Glodok, ada yang tahu
apa?”
Akhirnya salah satu dari kami angkat
suara. Guide pun senang sambil mengiyakan keterangan singkat salah
satu peserta, yang pasti bukan saya yang menjawab.
“Saat zaman penjajahan Belanda,
Glodok pernah menjadi kawasan pembantaian besar-besaran. Dahulu,
etnis Tionghoa dikumpulkan di satu area, tepatnya Glodok, untuk
memudahkan pengawasan dengan terkonsentrasi di satu wilayah saja.
Pengawasan yang dimaksud ialah pengawasan terkait dengan pembantaian
yang terjadi pada tahun 1740 M.”
Apa yang menyebabkan pembantaian
terjadi? Menurut sumber yang saya baca, dahulu saat zaman penjajahan
Belanda, etnis Tionghoa yang datang dari daratan China berhasil untuk
melakukan kegiatan perniagaan. Pabrik-pabrik didirikan untuk
mendukung proses perdagangan. Belanda pun tak senang melihatnya.
Etnis pendatang kok lebih sukses daripada pribumi yang notabene
mereka jadikan budak.
Akhirnya peraturan pun dilakukan. Warga
Tionghoa diberi beban pajak tinggi. Makin tinggi pendapatan mereka,
makin tinggi pula pajak yang yang harus mereka bayar.
Pabrik Gula yang mereka miliki harus
menjual hasil gulanya kepada Belanda dengan harga murah.
Peraturan lainnya ialah adanya surat
izin tinggal di Batavia bagi etnis Tionghoa. Lalu bagaimana cara
mendapatkan surat izin tersebut? Ya dengan membayar sejumlah uang
kepada petugas. Lantas bagi mereka yang tidak memiliki surat izin
akan dimasukkan di penjara.
Siapa yang tak geram dengan tindakan
Belanda tersebut?
Adanya korupsi besar-besaran yang
dilakukan oleh gubernur VOC serta kesalahan prosedur ekspor gula ke
Eropa membuat VOC menaikkan kembali pajak kepada etnis Tionghoa.
Merasa tertindas dengan tindakan yang
semena-mena yang dilakukan VOC maka mereka pun melakukan perlawanan.
Beberapa perlawanan yang terjadi
diantaranya pada Oktober tahun 1740 M. Sekitar 600 etnis Tionghoa
menyerang pos penjagaan di sekitar Jatinegara dan membunuh 50 tentara
VOC. Selain di Jatinegara, benteng dalam Kota Batavia pun pernah
dikepung dalam bulan yang sama. Mereka ingin masuk. Namun hal ini
dapat dicegah oleh tentara VOC yang saat itu dipimpin oleh Gustaav
Willem van Imhoff.
Pemberontakan yang terjadi membuat VOC
khawatir.
Kekhawatiran tersebut kemudian membuat
Belnada menerapkan peraturan baru yaitu adanya jam malam bagi warga
Tionghoa yang tinggal di dalam Kota Batavia. Selain itu semua senjata
wajib diserahkan kepada VOC.
Kekhawatiran VOC tersebut memuncak
hingga akhirnya pada 9 Oktober 1740, atas perintah Gubernur VOC yang
menjabat, Adriaan Valckeneir dilakukan pembantaian massal kepada
warga Tionghoa yang menewaskan sekitar 10.000 orang dan ratusan warga
luka-luka.
Meski telah dilakukan pembantaian namun
warga Tionghoa yang masih hidup tetap melakukan pemberontakan.
Akibat dari pembantaian tersebut,
Gubernur VOC yang memberi perintah, Adriaan Valckeneir, dicopot dari
jabatannya dan dimasukkan ke dalam penjara hingga akhirnya ia
meninggal. Lalu sebagai pengganti ditunjuklah Gustaav Willem van
Imhoff.
Sebagai Gubernur baru, ia akhirnya
memberikan peraturan baru yakni dipindahkannya warga Tionghoa di satu
tempat di luar benteng kota yakni di Glodok, agar mereka makin mudah
diawasi dan sulit melakukan pemberontakan.
Hingga kini, kawasan Glodok menjadi
pusat warga Tionghoa tinggal dan berniaga. Entahlah, sejarah memang
membuat pedih hati. Kalau diingat-ingat terus rasa geram tidak
tertahan. Namun kini semuanya sudah berlalu. Kawasan Glodok masih
hidup dengan ramainya lapak-lapak penjual dagangan. Hio masih menyala
di sudut-sudut kelenteng. Pengunjung yang datang dari luar maupun
dalam negeri kini ikut memadati kawasan ini meski hanya beberapa jam
saja singgah.
Semoga apa yang masih ada terus terjaga
meski Mei 1998 sempat ada cerita duka di sana...
Kelenteng Kim Tek Ie |
Beberapa pekerja yang sedang melakukan perbaikan |
Menyusuri Jalan Kemenangan |
Jalan Kemenangan |
Makan di kaki lima |
catatan: menyusuri Glodok sangat menyenangkan! jangan lupa siapkan alas kaki yang nyaman dan bersenang-senanglah menyusuri gang-gang di sana. Apabila haus dan lapar tak perlu khawatir karena banyak penjual makanan dan minuman, apabila ragu dengan halal/haram, bisa bertanya langsung atau amannya beli penyetan ehehehe...
*semua foto diambil menggunakan kamera hp saya kecuali foto saya yang berbaju biru..
10.000 orang, menyedihkan :(
ReplyDeleteSyukurlah sekarang bertahan sebagai kawasan niaga ya. Semoga tetap harmonis dan baik menjadi ruang buat jalan jalan, jajan, menyusuri kelenteng kelenteng dan rumah unik.
aamiin kk, moga damai terus yaaa
Deletewah, Belanda mudah iri hati ya.
ReplyDeleteHidup bersama mereka saat itu susah juga ya. Banyak aturan. Bahkan berlaku jam malam segala.
Menarik, Mba.
Di setiap tempat, pasti ada kampung Tionghoanya. Di tempatku juga ada. dan itu terpusat. Apakah dengan alasan yang sama mereka ditempatkan terpusat dalam satu kawasan?
sepertinyaa mas anip, coba baca komentar di bawah ini hehe nanti aku baca-baca lagi..
DeletePeristiwa itu juga turut melatarbelakangi berdirinya pecinan di berbagai kota :3
ReplyDeletewahh nanti mau baca-baca lagiii
Deletesmg bisa hidup harmonis di Indonesia tercinta...
ReplyDeleteAku juga pingin menelusuri jejak orang2 tionghoa di deket rumahku, menarik untuk digali hal hal seperti ini
ReplyDeleteBanyak cerita pilu kala mengenang Glodok, berbagai sumber menuliskan tentang pembantaian. Ya sebuah sejarah kelam yang harus kita ketahui.
ReplyDeleteAku pernah dengar soal ini tapi kurang lengkap. Terima kasih Imama sudah menuliskan ini :)
ReplyDeleteAku jadi kepingin ikutan walking tour (banyak rute yang menarik kayanya).
Kalau baca soal sejarah- sejarah begini rasanya pilu, tapi beruntung sekarang wilayah Glodok uda jadi kawasan niaga.
ReplyDeleteAku juga baru tau detil sejarah ini. Etnis Tionghoa memang biasanya tinggal di dekat stasiun besar kereta api karena prospek yang bagus buat bisnis. Seperti di Bandung, Solo, Semarang, Jogja, dan kota-kota lainnya. Ternyata yang terjadi di Jakarta berbeda ya, dan tragis.
ReplyDelete