Kak Java dari Go Nias Tour menjelaskan tentang rumah adat Nias sebagai perkenalan awal kami dengan salah satu wilayah di Sumatera Utara ini. Mulai dari bentuk, bahan dasar rumah, hingga ada tes ketahanan rumah adat itu sendiri dijelaskan dengan detail.
Sejak zaman dulu, nenek moyang suku Nias sadar akan kondisi wilayah mereka yang rawan, sehingga mereka mendirikan bangunan yang meminimalisir terjadinya kerugian yang besar. Omo hada inilah yang akhirnya mereka buat untuk menjawab hal tersebut.
Bentuk umum rumah adat Nias atapnya menjulang tinggi dan terbuat dari rumbia, badannya terbuat dari kayu, dan bentuk bangunannya berbentuk bulat.
Perkenalan dengan rumah adat nias dimulai dari bahan dasar dan konstruksi rumah yaitu kayu. Penggunaan kayu sebagai material bangunan dan teknik sambungan konstruksi tradisional menggunakan pasak menjadi jawaban dari ketahanan bangunan. Pasak ini digunakan sebagai pengunci konstruksionalnya yang menjadikanya menjadi tahan gempa.
Kayu yang digunakan pun ternyata memiliki sifat “elastis”. Menurut Ya’aro Zebua, seorang pemerhati budaya Nias, "Saat gempa rumah pun turut 'main' (ikut bergerak) sesuai guncangan bumi.” Tetapi diakuinya, gerakan-gerakan itu telah membuat posisi tiang-tiang rumah bergeser, sehingga tampak miring namun tidak begitu parah kerusakannya.
Selanjutnya bangunan rumah adat Nias tidak ditanam di tanah melainkan di atas bebatuan. Bebatuan inilah yang menjadi tumpuan bagi tiang-tiang kayu. Ketika gempa terjadi, tiang tersebut tidak mudah patah karena tiang tersebut mengikuti gaya horizontal gempa. Pengaruh gempa pun juga diredam dengan membuat tiang menyilang sebagai penyangga rumah dan penguat. Tiang yang menyangga ini berbentuk letter X yang disebut “Diwa” dan berfungsi menahan lantai rumah di bagian kolongnya. Selain itu ada gohomo, yaitu kayu-kayu yang tegak lurus menopang dan memagari seluruh kolong rumah.
Rumah tradisional Nias, dalam tulisan Meyers K. dan Watson. P. yang berjudul Legend, Ritual and Architecture on the Ring of Fire (2008), menjelaskan rumah Nias terdiri dari tiang (enomo) dan balok menyilang (ndriwa) yang saling mengait. Balok-balok itu tidak ditancapkan di dalam tanah, tetapi ditumpukan di atas batu besar, sehingga bersifat dinamis menghadapi gaya geser. Semua sambungan kayu menggunakan teknik pasak, alias tanpa paku, sehingga membuat balok-balok kayu dinamis dan tidak patah ketika terjadi gempa. Sebagai bukti, setelah beberapa kali terjadi gempa di Nias, rumah-rumah adat di Nias masih tetap berdiri.
Tiang kaki Omo Hada yang tidak menempel dengan tanah namun berada di atas batu |
Ada yang menarik dari tiang-tiang di Omo Hada ini yang ternyata juga menjadi penanda jumlah babi yang akan dikurbankan. Omo Hada yang saya jumpai memiliki 60 tiang yang berarti ada 60 babi yang dikurbankan.
Selanjutnya, sebelum Omo Hada jadi terlebih dahulu harus diuji ketahanannya. Untuk uji tahan lantai Omo Hada, sejumlah orang masuk ke dalam dan melakukan aktivitas salah satunya dengan menari. Jika tidak roboh maka Oma Hada baru dapat digunakan.
Gotong Royong Warga
Umumnya Omo Hada dibangun di bagian puncak bukit. Hal ini memperlihatkan tenaga yang tidak kecil sekaligus tanda akan kuatnya sifat gotong-royong masyarakat sekitar pada zaman dahulu.
Kesenian
Dalam kehidupan di rumah adat Nias kerap dijumpai karya budaya yang menyiratkan citarasa seni tinggi. Motif – motif hias yang ada pada situs-situs di nias termasuk rumah adatnya menunjukkan hubungan yang erat dengan lingkungan. Motif yang dimaksud antara lain flora, fauna dan bulatan. Yang saya jumpai ialah motif bulatan yang mirip dengan Ni’ogama. Bentuk ini merupakan lambang persatuan dan kebulatan hati.
Menurut saya bentuk ukiran kayu di Omo Hada yang berada di tengah-tengah mirip dengan Ni'ogama |
Sejak dahulu rupanya nenek moyang masyarakat Nias sudah sadar dan tanggap dengan bencana dibuktikan dengan Omo Hada yang memiliki berbagai filosofi dan makna di tiap bagian bangunannya. Sejenak saya berfikir kalau saja hal serupa diterapkan kembali di masyarakat tentu kerugian besar dapat dikurangi mengingat akhir-akhir ini banyak terjadi bencana yang menimpa negeri ini. Namun hal tersebut tentulah harus dilakukan riset dan kajian kembali yang mendalam.
Sumber informasi:
Lucas Partanda Koestoro & Ketut Wiradnyana, Tradisi Megalitik di Pulau Nias, Balai Arkeologi Medan, 2007.
http://perkumpulanskala.net/index.php/en/culture/164-rumah-ramah-bencana-di-nias diakses pada 25 November 2018.
Aneh ya, kalau kayunya ditaruh di atas batu kayak gitu, logikanya malah rawan selip. Tapi enaknya kalau rumah dari kayu, begitu gempa, meskipun hancur, bisa lebih mudah membangun kembali daripada dari beton.
ReplyDeleteDari sini kita tahu ya, meski terlihat sederhana mereka sejak lama sudah mengenal teknologi rumah anti gempa. denan berbekal kayu dan tatanan batu. keren
ReplyDeleteAku selalu suka lihat kontruksi-kontruksi bangunan jaman dulu. Mereka tidak sekedar membangun, namun juga memperhatikan kearifan lokal juga. Apalagi banyak bangunan yang terbuat dari kayu malah tidak memakai paku sebagai penghubung bangunan.
ReplyDelete