Keberadaan Lurik Klaten bagi saya menjadi salah satu hal yang cukup asing, padahal salah satu kekayaan warisan budaya berupa kain tradisional ini dulunya pernah menjadi tulang punggung ratusan masyarakat Pedan, Klaten. Entah saya yang kurang jauh mainnya atau saya saja yang malas mencari informasi tentang Lurik. Bagi saya, kain hasil warisan budaya Indonesia hanya ada dua, yaitu tenun dan batik. Dan saya baru tahu bahwa macam dari tenun ada banyak, salah satunya Tenun Lurik ini. Padahal masih berlokasi di pulau yang sama namun kok ya begitu asing mendengar namanya.
Perjalanan saya mengenal lurik diawali
ketika tiba-tiba saja ada keinginan kuat untuk berkunjung ke kota yang
berbatasan langsung dengan Provinsi DIY, provinsi di mana saya sekarang
tempati. Saya akhirnya mengajak dua orang teman, Mbak Pink atau Mbak Nana dan Dewi,
teman masak saya di kos untuk pergi ke Klaten.
Rencana awal adalah berangkat
pagi-pagi setelah shalat Subuh untuk melihat sunrise di Candi Plaosan. Namun
banyak hal terjadi di luar rencana, salah satunya adalah saya ketiduran:(. Saat
bangun tiba-tiba ada banyak sekali notifikasi panggilan tidak terjawab dari
Mbak Nana, dan saya jadi tidak enak sendiri karena keteledoran yang saya buat.
Setelah membalas pesan saya bergegas mandi dan mengetuk pintu kamar Dewi,
rupanya ia pun tertidur. Mungkin saking nyamannya kasur di kamar kos kami ._.
Singkat cerita kami akhirnya tiba
di Klaten saat matahari sudah mampu membuat kulit terasa clekit-clekit. Motor
saya arahkan menuju tempat parkir masjid dekat alun-alun. Seorang kawan asli
Klaten akan menemani perjalanan kami kali ini. Dan tidak lama beselang kawan
tersebut datang. Tiga motor kemudian secara beriringan melaju di atas aspal
kabupaten bersemboyan Klaten Bersinar ini.
Sekitar 30 menit perjalanan,
motor kami kemudian mengarah ke sebuah jalan kecil. Kanan kiri jalan
pemandangan berubah menjadi area persawahan. Saya kira ketika masuk jalanan
kecil ini kendaraan yang melewatinya juga ikut menyesuaikan ukuran jalan, namun
ternyata ukurannya masih sama seperti jalan yang saya lewati sebelumnya. Maka
mata tetap saya kondisikan awas sambil sesekali menengok spion untuk mencoba
mendahului kendaraan yang membuat beberapa kali saya tertinggal di belakang.
Tak lama berselang, kawan saya
akhirnya menurunkan kecepatan kendaraannya dan menepi. Saya pun langsung
mengikuti. Rupanya kami telah sampai di lokasi tenun.
Jika hanya melihat dari depan
maka siapapun yang belum pernah ke Tenun Pedan ini akan merasa seperti
rumah-rumah penduduk pada umumnya yang membedakan adalah papan penanda yang
digantung di pagar rumah.
Seorang wanita paruh baya
kemudian membukakan pintu rumah. Terlihat lemari-lemari etalase berjajar rapi
dengan kain-kain lurik berada di didalamnya. Wanita tersebut,yang kemudian baru
saya ketahui adalah anak dari Pak Rahmad pemilik Lurik di Pedan yang masing
bertahan, menyapa sambil mempersilahkan kami untuk masuk. Langsung saja saya
melepas sepatu dan melenggang masuk ke dalam galeri tenun.
Di dalam ruang galeri yang
dipenuhi etalase ini pengunjung bisa memilih lurik-lurik mana yang ingin dibeli
sesuai dengan kebutuhan (dan kalau saya keinginan wkwk). Mulai dari kain tenun
yang digunakan untuk syal dan hijab, kain lebar untuk bahan baju, atau pun kain
tenun yang dapat digunakan untuk bawahan atau rok. Kalau saja bisa mendesain
baju sendiri maka sepertinya saya akan membeli kain dan mengutak-atiknya
menjadi outfit yang akan saya gunakan sehari-hari.
Hal pertama ketika saya melihat
lurik beberapa bulan yang lalu adalah, hmm kain yang bermotif garis-garis ini
kenapa begitu banyak peminatnya ya. Apakah garis-garis ini punya makna
tertentu?
Ternyata memang benar, kain-kain
lurik ini memang sekilas tidak ada pembeda, motifnya sama yaitu garis-garis.
Perbedaan yang mencolok bagi saya adalah warna-warninya. Namun saya salah, ada
makna di tiap larik-larik lurik ini.
Kain lurik dalam istilah Jawa Kuna disebut larik yang berarti baris, deret, garis, dan lajur (Zoetmulder,
1982: 575). Pendapat lain mengatakan lurik berasal kata rik yang berarti garis
atau parit, yang dapat bermakna sebagai pagar atau pelindung bagi pemakainya
(Anonim, 2004: 6). Lalu ada pula yang berpendapat bahwa motif tenun lurik yang
berbentuk kotak-kotak merupakan inspirasi dari buah nangka yang belum matang
(bahasa Jawa: gori) yang dicacah-cacah sehingga membentuk motif kotak-kotak
yang dalam corak tenun lurik terdapat motif Cacah gori, atau Damdaman (Martono,
1997/1998: 8). Corak lurik sendiri secara umum ada tiga corak dasar, yaitu
corak lajuran, corak pakan malang, dan corak cacahan.
Sedangkan corak cacahan adalah
corak yang terjadi dari persilangan antara corak lajuran dan corak pakan
malang.
Cacahan |
Selain corak-corak dasar, larik-larik
Lurik yang sebelumnya saya kira hanyalah motif saja ternyata memiliki
makna-makna tersendiri. Khusus di Pedan, menurut dosen ISI Yogyakarta*,
memiliki beberapa motif khas yaitu Tumenggungan, Bribil, Liwatan, Tumbar Pecah,
Lasem dan motif Telu Pat.
Motif Tumenggungan pada awalnya
hanya diperbolehkan dipakai oleh bangsawan kraton, khususnya seorang tumenggung
yang dikeluarkan oleh Kraton Surakarta (Marah, 1989/1990: 12).
Motif Bribil
Motif ini diciptakan pada masa
pemerintahan Paku Buwono VI, di Kraton Surakarta dan hanya boleh digunakan oleh
bangsawan Kraton (Djoemena, 2000: 48). Motif Bribil menurut pembagian corak
dasarnya termasuk ke dalam corak lajuran, yaitu garis-garis benang terlihat
jelas membujur searah benang lungsi. Motif ini memiliki tata susunan dan lebar
lajur-lajur satuan kelompok yang sama, namun dengan perpaduan warna benang yang
berbeda.
Motif Liwatan menurut pembagian
corak dasarnya juga termasuk ke dalam corak lajuran. Corak ini terdiri dari 3
bagian, di mana setiap bagian terdapat kelompok garis-garis lajur yang berbeda.
Pada kedua sisi kain terdapat kelompok garis lajur yang mengapit pada kelompok
garis bagian tengah yang memiliki tata warna yang berbeda dengan kelompok garis
yang mengapitnya.
Motif ini menurut pembagian corak
dasar yang ada termasuk ke dalam corak cacahan, yaitu corak yang terjadi
merupakan persilangan antara corak lajuran dan corak pakan malang.
Motif Lasem termasuk ke dalam
corak lajuran dengan garis-garis lajur yang memiliki ukuran sama serta memiliki
warna dasar yang sama. Dalam motif ini terlihat jelas adanya pakan malang yang
berfungsi sebagai tumpal (Djoemena, 2000: 44-45).
Motif Telu Pat atau disebut juga
motif Pranakan adalah ciptaan Sri Sultan Hamengku Buwana V, yang idenya datang
ketika berkunjung ke sebuah pesantren di Banten dan melihat para santri
perempuan memakai baju kurung lengan panjang dengan lobang sampai bawah leher
yang dibelah (Suwito,2009) Motif Telu Pat menurut pembagian corak dasarnya juga
termasuk ke dalam corak lajuran, corak garis benang terlihat jelas membujur
searah benang lungsi yang berjumlah tiga dan empat dan dengan warna dasar biru tua
(Roedjito, 1985: 1).
Masing-masing motif yang memiliki
variasi warna dan corak membentuk patron yang dibuat oleh empu dengan cita rasa
dan aspirasi kepentingan budaya masa itu (Marah,1989/1990:10-11 ). Salah satu
motif khas dari Klaten, Tumbar Pecah, penggunaannya terbatas pada waktu dan kepentingan tertentu saja yaitu untuk
upacara selamatan tujuh bulanan karena dipercaya untuk keselamatan bayi agar keluar dengan mudah.
Makna-makna yang kemudian
berhubungan dengan waktu kapan dipakainya kain lurik itu apakah masih
berlangsung sampai sekarang ya? Jika iya, saya membayangkan kalau saat upacara
tujuh bulanan, kain yang dilipat rapi di dalam lemari dibuka, lalu digunakan oleh
pemiliknya. Spesial dan istimewa sekali..
Pembuatan Tenun Lurik di ATBM |
Benang-benang untuk kain |
...
Setelah puas melihat kain lurik
di galeri yang berisi etalase kaca, kami beranjak menuju pintu yang berada di
samping rumah. Ternyata pintu tersebut menjadi pintu gerbang menuju area
pembuatan tenun. Di sana sudah banyak sekali pegawai yang sedang sibuk dengan
tugasnya masing-masing.
Para lelaki terlihat bertugas di
bagian pewarnaan sedangkan wanita duduk di belakang alat tenun yang kemudian
baru saya ketahui bernama ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin).
Pewarnaan |
Sekilas saja ketika melihat tenun lurik, motifnya sederhana karena berupa garis-garis vertikal dan horizontal namun ketika melihat langsung wanita yang rata-rata sudah berusia lanjut ini membuat saya geleng kepala. Antara kaki, tangan, dan indera penglihatan bekerja bersamaan. Kaki yang diletakkan di bawah mesin hampir sama kerjanya seperti mesin jahit. Tangan digunakan untuk mengatur benang-benang secara vertikal dan horizontal agar dapat membuat motif lurik yang diinginkan. Lalu mata harus jeli melihat bagian kain yang dikerjakan karena beberapa kali harus dilakukan proses pengguntingan bagian-bagian benang yang tidak rapi. Tidak sampai di situ karena wanita-wanita yang duduk di balik ATBM harus bertugas menjadi “teknisi” mesin.
Tugas lain penenun, memperbaiki mesin ATBM yang bermasalah |
Saya sendiri kaget ketika melihat
wanita yang berusia lebih tua dari Mbah Putri saya beranjak dari tempat duduk
untuk membetulkan mesin yang mengalami sedikit gangguan. Tangannya yang sudah
keriput seperti sudah hafal bagian mana yang harus dibetulkan ketika mengalami
suatu gangguan. Setelah mesin ATBM dirasa sudah kembali normal beliau kembali
ke tempat duduknya dan melanjutkan pekerjaan.
Sungguh, wanita-wanita tersebut
begitu tangguh. Di usianya yang sudah senja mereka masih aktif berkarya membuat
kain-kain tenun lurik.
Satu hal yang menjadi pertanyaan
bagi saya, sejauh mana lurik ATBM akan bertahan di zaman sekarang. Karena
pertama, zaman makin berkembang, tidak bisa kita pungkiri makin berkembang pula
mesin-masing penghasil lurik di luar sana yang mungkin bisa menghasilkan pattern yang menarik dengan jumlah
produksi yang lebih banyak serta biaya yang lebih rendah. Kedua soal
regenerasi. Perajin lurik rata-rata sudah berusia lanjut, saat berkunjung di
sana saya tidak (atau belum) melihat perajin lurik yang usianya masih produktif.
Jika dibiarkan terus, saya
khawatir mesin-mesin ATBM makin banyak teronggok di pojok ruangan. Semoga saja
larik-larik Lurik Pedan Klaten terus dihasilkan dan makin banyak orang yang
menggunakan.
...
Suasana di dalam ruangan |
Bantalan kursi penenun |
Benang yang sudah melalui proses pewarnaan |
Seorang wanita sedang memintal benang |
Tungku-tungku di pojok ruang |
Benang-benang untuk kain tenun |
Kaki yang terus bekerja untuk mesin ATBM |
Benang-benang untuk bahan kain |
Seorang penenun sedang bekerja |
Sumber informasi dan gambar motif Tenun Lurik:
*Hariyanto (2014) : Tenun Lurik Dalam
Kehidupan Masyarakat Jawa, Corak Jurnal Seni Kriya Vol. 2 No 2,
November-April 2014.
Lokasi :
Lurik pada jaman dahulu juga bisa digunakan sebagai simbol sosial yang mengacu pada stratifikasi yang ada pada masyarakat jawa di waktu dulu. Seperti batik dan juga ikat kepala di daerah Sumatra.
ReplyDeleteYuk beli lurik mu.
Yeay. akhirnya tayang. Terima kasih sudah membantu mewartakan Klaten.
ReplyDeleteMenarik lagi kalau mengulas lurik indigo. tunggu di lain hari! haha
Sama seperti batik, yang ternyata setiap motifnya memiliki makna masing-masing. Dan tentunya nggak bisa dipakai sembarang orang.
ReplyDeleteSelain perkembangan zaman, apalagi semakin jarang orang yang berminat untuk mengerjakan ini. Tapi mungkin justru bisa dengan memberdayakan para lansia. Soalnya lansia gitu juga seringnya nggak seneng duduk diam di rumah.
Terima kasih atas wawasan tentang lurik Pedan Klaten yang sudah dibagi dalam tulisan ini :)
ReplyDelete